Sore tadi scroll
down timeline instagram dan membaca post dari Andra
Alodita who decided to take her time off to take care of her newborn
daughter. Awalnya hanya tau kisahnya yang ingin memiliki anak namun belum
pernah membaca blognya. Malam ini saya membaca 2 artikel di blognya, berjudul "My TTC Journey" dan "My IVF Success Story". Keduanya
sukses bikin saya menitikkan air mata haru.
Artikel tentang
perjalanan cerita Andra Alodita dan suami untuk mendapatkan anak ini
mengingatkan saya pada kehamilan saya 2 bulan lalu. Saya dan suami menikah pada
4 April 2015. Belum tepat 3 minggu kami menikah, saya dan seorang teman
melakukan test pack sebelum kami pergi outing kantor keluar kota
dan hasilnya sama-sama menunjukkan 2 garis, meskipun hasil test pack saya
masih samar-samar. Hari itu saya dan suami ke dokter, dan dokter menyatakan
sudah ada penebalan dinding rahim sebesar 1,6 cm yang kemungkinan menunjukkan
kehamilan. Ia meminta saya periksa kembali 2 minggu kemudian.
Belum sampai 2
minggu, saya kembali periksa ke dokter obsgyn. Alhamdulillaah hasilnya positif,
kami sudah bisa melihat kantong kehamilannya. Usia kandungan saya diperkirakan
4 minggu. Saat itu saya batuk pilek berat, dan dokter menyarankan saya untuk
tidak meminum obat dan mengkonsumsi 1 kg jeruk per hari.
Seminggu setelahnya,
saya mengalami diare hebat yang memaksa saya harus diopname selama 2 malam.
Setelah beberapa hari sembuh, saya terbang ke Singapura untuk menghadiri suatu
konferensi, tugas dari kantor. Orang tua dan rekan di kantor menanyakan kondisi
kesehatan dan kehamilan saya, saya bilang sudah sembuh. Dan mereka berpesan
agar saya berhati-hati dan jaga kesehatan.
Sepulang dari
Singapura, saya ingin sekali memeriksakan kandungan. Walaupun dokter saya
sebelumnya sedang tidak praktek, saya kekeuh ingin periksa hari itu juga
meskipun harus dengan dokter lain. Usia kandungan saya waktu itu menginjak 6
minggu. Di usia tersebut, seharusnya kami sudah bisa melihat janin tumbuh di
dalam kantong kehamilan. Namun sayangnya, malam itu kami belum bisa melihatnya.
Dokter menyatakan adanya kemungkinan saya mengalami 'blighted ovum'
yaitu kondisi di mana di dalam kantong kehamilan, janinnya tidak tumbuh dengan
sempurna. Kebetulan dokter yang kami temui malam itu kurang friendly,
datar, dan mungkin menganggap kondisi yang saya alami ini adalah hal yang
sering terjadi hingga menganggapnya remeh. Ia pun meminta kami menunggu dan
periksa kembali dalam 2 minggu untuk memastikan janin dalam kandungan saya
tumbuh atau memang saya mengalami blighted ovum.
Empat hari setelah
pertemuan kami dengan dokter tersebut, saya mengalami flek di kantor. Awalnya
saya hanya bercerita kepada salah satu teman di kantor, ia meminta saya untuk
tetap tenang dan memantau apakah fleknya berhenti atau terus keluar. Semakin
siang, darah yang keluar semakin banyak. Saya ditemani teman kantor tersebut
naik taksi menuju RS di mana saya biasa periksa. Siang itu saya masuk melalui
UGD dan bertemu dengan seorang dokter obsgyn lain. Ia mendukung diagnosis
dokter obsgyn sebelumnya, yaitu kemungkinan kandungan saya adalah blighted
ovum. Untuk meyakinkan saya dan suami, akhirnya kami menunggu sampai malam
hari di RS untuk berkonsultasi dengan dokter obsgyn pertama kami, yang menurut
kami paling senior dan enak diajak berdiskusi, dr. Ali Sungkar, Sp.OG(K).
Jawabannya sama,
kandungan saya mengalami blighted ovum. Sarannya adalah mengeluarkan isi
kandungan dengan obat, dan bila sudah bersih maka saya tidak perlu di-kuret.
Sore itu saya menangis, ditemani seorang sahabat dan adik saya. Mereka men-support
saya untuk menuruti saran dokter. Percuma mempertahankan sesuatu yang sudah
dipastikan tidak bisa tumbuh dengan sempurna. Saya harus segera mengeluarkan
calon janin tersebut agar saya segera bersih dan bisa hamil lagi.
Malam itu akhirnya
saya meminum obat peluruh kandungan. Dokter menyarankan agar obat dikonsumsi
malam hari agar rasa sakitnya tidak begitu terasa. Menjelang dan setelah saya
menelan obat itu, saya menangis di pelukan suami. Tidak terbayangkan
sebelumnya dan tidak teganya hati saya mengeluarkan calon anak kami sendiri
dari dalam kandungan. Namun suami saya terus meyakinkan bahwa ini adalah
jalan yang tepat. Pagi hari setelah saya meminum obat itu, saya merasakan ada
suatu gumpalan keluar dari tubuh saya, and the rest serupa dengan
menstruasi biasa.
Bukan hal yang mudah bagi saya untuk menerima kejadian ini. Saya sempat berkonsultasi ke seorang psikolog mengenai kondisi saya. Sudah terbayang di benak saya untuk hamil, melahirkan, keluar kerja dan mengurus anak. Namun saya berpikir kembali, apakah iya saya ingin keluar kerja untuk mengurus anak? Ataukah saya hanya menjadikan calon anak ini sebagai tumbal untuk keluar kerja? Ya, kehidupan pekerjaan saya di kantor cukup membuat stres, terutama karena atasan. Hal ini sering membuat saya berpikir untuk keluar kerja. Psikolog mengatakan saya belum selesai melewati masa grieving (berduka), dan sudah harus berhadapan kembali dengan rutinitas kantor yang tidak mau tahu urusan pribadi karyawannya. Wajar jika saya menjadi sangat down karena harus menelan dua hal ini bersamaan.
Setelah bedrest selama
seminggu, darah sudah mulai mampet dan masa nifas pun dimulai. Saya mengalami
masa nifas seperti Ibu yang habis melahirkan. Untungnya masa nifas saya tidak
begitu lama, hanya 2,5 minggu dan saya pun bisa menjalankan ibadah puasa di
tahun ini, puasa pertama saya sebagai seorang istri. Belum 2 minggu sejak hari
pertama puasa, saya sudah mengalami menstruasi lagi. Hal ini menandakan periode
menstruasi saya sudah dimulai lagi dan siklus saya sudah kembali normal.
Malam ini mata hati
saya terbuka lebar.
Di luar sana ada banyak sekali wanita yang ingin hamil, berjuang melakukan
berbagai operasi dan tindakan demi bisa memiliki anak. Bahkan Andra Alodita
hanya memiliki 5% chance untuk hamil secara natural karena sudah tidak
memiliki tuba fallopi, 2 buah saluran yang menghubungkan indung telur dan
rahim. Tapi terbukti, Allah selalu memberi jalan bagi umatnya yang percaya.
Tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Sekarang ia sudah memiliki seorang anak
perempuan. Subhanallah...
Saya hanya diminta untuk bersabar, menunggu :) Masa begitu aja mau ngeluh? Malu ah sama wanita-wanita kuat di luar sana...
Alhamdulillaah saya
sudah pernah diberi kesempatan untuk merasakan hamil di masa-masa sangat awal
pernikahan kami, meskipun ia belum ditakdirkan untuk dilahirkan ke dunia.
Dokter menyatakan bahwa kondisi saya dan suami terbilang subur, dan saya
tidak boleh takut hamil lagi. Kejadian blighted ovum ini cukup
sering terjadi, bisa dialami oleh siapa saja, dan biasanya terjadi pada
kehamilan pertama. Hal ini terjadi by chance, dan salah satu artikel
yang terus saya yakini sampai saat ini:
Miscarriages from a blighted ovum are often due to problems with chromosomes, the structures that carry genes. This may be from a poor-quality sperm or egg. Or, it may occur due to abnormal cell division. Regardless, your body stops the pregnancy because it recognizes this abnormality. It's important to understand that you have done nothing to cause this miscarriage and you almost certainly could not have prevented it. For most women, a blighted ovum occurs only once.
Libur lebaran seperti
ini dan bertemu dengan keponakan-keponakan membuat saya bisa melihat how my
husband would be a very caring father to our own future children. Insya
Allah akan diberi pada saat yang tepat :)
Rasulullah SAW bersabda, “Akan dikabulkan do’a salah seorang di antara kalian selama tidak tergesa-gesa dalam berdo’a.” Kemudian beliau ditanya, “Wahai Rasulullah bagaimanakah bentuk tergesa-gesa dalam berdo’a?” Beliau menjawab, “Seseorang yang berdo’a kemudian mengatakan, “Aku telah berdo’a kepada Allah tetapi Allah tidak segera mengabulkan do’aku”.
Comments
Post a Comment